Kisah Ibu Mulia. . . -Mulia Kuruseng-




Sebuah Pelajaran Tentang Seni Memberi

Ketika suaminya wafat di saat anak terkecil, anak ke lima belas berusia tiga tahun, satu hal yang Mulia Kuruseng ingat, janji mereka untuk terus menyekolahkan anak-anak. Nampaknya, itulah salah satu seni memberi , dari sekian banyak seni memberi ia tumpahkan untuk anak-anaknya. Ibu ini menikah tahun 1956 saat usianya 14 tahun (SMP). Dan suaminya umur 20 tahun (tidak tamat SMU karena ayahnya meninggal) dan dikaruniai 15 anak, 10 laki-laki dan 5 perempuan. Waktu itu belum ada KB, suaminya bilang “Tidak usah KB semua anak ada rejekinya”. Bapak As’ad, suami Ibu Mulia ini sejak awal menikah cita-cita terbesarnya adalah ANAK-ANAK HARUS BISA SEKOLAH.”Suami bilang, kamu tidak sekolah karena kawin, saya tidak sekolah karena membantu orang tua. Tapi anak-anak harus bisa sekolah terus”.Suaminya wafat ketika anak pertama masih kuliah dan yang terakhir umur 3 tahun. Setiap teringat suaminya , dan perjalanan yang harus dipikul, Ibu ini mengadu ketika sholat. Seminggu wafat suaminya ia keluar rumah untuk mencari rejeki untuk anak-anaknya melanjutkan toko almarhum suaminya. Sepeninggal suaminya para pedagang menolak membayar piutang. Berupaya menjalankan usaha suaminya sendiri ditengah piutang macet dimana-mana. Ibu ini merombak system. Ia tidak lagi menanyakan piutang yang tertunggak tapi mencoba mengikhlaskan.

Ke 15 anaknya umumnya cemerlang dalam pencapaian di SD, SMP, SMA dan berlanjut sampai mereka kuliah. Tapi ada juga yang masuk ke sekolah swasta karena tiap pagi harus membantu ibunya menjaga toko waktu pagi, padahal awalnya ditolak karena anak itu nilainya bagus dan tempatnya di sekolah favorit. Meski si anak inginya sekolah di sekolah negeri, anak ini tidak mengeluh di menghormati ibunya.
Ibu Mulia ini tidak jauh dari suaminya, yang mereka lakukan buat anak-anak, yang ada hanya kisah pemberian, dan hanya pemberian, dari orang tua kepada anaknya. Tidak pernah ada keluar kata-kata kasar dalam rumahnya, tidak adanya kekerasan, suaminya kalau tidak setuju hanya diam dan tidak marah-marah. Kalau marah atau ada apa-apa biasanya menenangkan diri dulu, sholat, baru bicara pelan-pelan. Ibu ini kerap menenangkan diri ketika sholat “sholat saja resepnya” . Prinsipnya dalam mendidik anak ada 3 hal, IKHLAS, JUJUR, & SABAR. Kejujuran ia tanamkan saat mereka masih kecil.

Ke 15 anaknya ini sukses. Anak ke:
01. Alumnus fakultas kedokteran Unhas, asisten manager Kesehatan PT Pertamina Perkapalan.
02. Gelarnya Prof. DR. dr…… MSc, SpGK. Profesor muda di fakultas Kedokteran Unhas.
03. Gelarnya Dr. Dokter Umum di Bontang, meraih master dari universitas Mulawarman, Samarinda.
04. Gelarnya Dr. Dokter spesialis penyakit dalam
05. Gelarnya Ir. Bekerja di Makasar
06. Gelarnya Ir. Lulusan S3 teknik di Austria
07. drop-out Fakultas Ekonomi Unhas. Pengusaha di Unhas
08. Gelarnya Ir. Arsitek dari Unhas
09. Gelarnya Ir. Alumnus ITB, dosen Unisba
10. Gelar Ir, master dari ITB sekarang menempuh gelar doctor di jepang.
11. Gelar Ir, dosen STT Baramuli, Pinrang.
12. Sarjana ekonomi (SE, Ak, MM), magister unpad Bandung
13. Gelar Ir. Alumnus Fakultas Teknik UGM
14. Alumnus Fakultas Kedokteran Unhas
15. Letda. Alumnus Akademi Angkatan Laut, Surabaya

Tentang resep ibu Mulia ini untuk tidak gampang patah “Pokoknya maju saja ke depan. Maju terus. Tidak melihat ke belakang. Jalan terus, yang sudah-sudah tidak dipikir lagi. Tidak pernah menyesal, sudah digariskan jalan hidup ini, saya terima , saya bersyukur. Pokoknya berbuat untuk anak-anak secara ikhlas. Dan tidak pernah berfikir apa balasannya untuk kita”

Seni memberi yang dilakukan ibu Mulia Kuruseng untuk anak-anaknya. Kekuatannya pada ketulusannya. Kekokohannya pada keikhlasannya. Seperti doa abadi dalam Al-Qur’an, yang mengajarkan kita untuk memohon agar diberi keturunan yang bisa menyejukkan pandangan. Subhanallah ya… seorang ibu yang membesarkan ke lima belas anaknya seorang diri dan mereka menjadi orang yang sukses. Tapi bagaimana dengan kita? Seburuk-buruk generasi adalah mereka yang gagal mewarisi, lalu gagal pula mewariskan. Bukan soal laki-laki atau perempuan. Kita semua adalah para generasi.