Sejak
Majapahit, persatuan atau kesatuan dalam
perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika, Unity in Diversity) yang ditujukan bagi
kerukunan umat beragama antara Syiwa dan Buddha dicetuskan oleh pujangga
masyhur Mpu Tantular di masa maraknya Hayam Wuruk pada pertengahan abad
keempat belas. Puncak kejayaan Majapahit di masa itu dapat terjadi setelah
takluknya para pembangkang Ronggolawe, Sora, dan lainnya.
Suasana kerajaan begitu damai, dua agama sekaligus menjadi agama Negara
Majapahit yakni Syiwa dan Buddha. Pejabat tinggi atau pendeta yang termulia di
seluruh kerajaan duduk sama derajat dalam melaksanakan segala kehidupan
bernegara mulai pendidikan agama hingga soal pengangkatan pegawai dari
masing-masing agama. Syiwa dan Buddha duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi
secara fungsional maupun strukturan dalam koridor Negara Majapahit. Bahkan
dalam upacara kenegaraan selalu diikutsertakan di antara kedua agama.
Sebaliknya
yang terjadi di masa Orde Baru yang juga ikut-ikutan menggunakan Bhinneka
Tunggal Ika sebagai lambang negara yang dililitkan dan dicengkeram oleh burung
Garuda. Di masa Orde Baru terdapat lima agama yang diakui oleh negara. Akan
tetapi cuma satu agama saja yang selalu mendapatkan porsi lebih bahkan
memonopoli penyelenggaraan upacara kenegaraan yakni agama
"Mohammedan". Bahkan agama yang dijadikan anak emas ini diberi
kekuasaan yang mirip dengan negara dalam negara. Di seluruh dunia yang pararel
dengan masa Orde Baru berlangsung tidak terdapat satu negara pun yang memiliki
departemen agama.
Persatuan dan kesatuan yang didengungkan oleh rejim Orde Baru memang kelewatan
batas. Sampai-sampai berpikir pun harus seragam terutama dalam bidang politik.
Barang siapa berbeda segi pandangan politik dengan penguasa maka akan dapat
hadiah "antek PKI", "GPK", "OTB", dan
lain-lainnya. Itu hanya sekadar contoh kecil saja untuk melanggengkan kekuasaan
rejim Orde Baru. Tumbangnya atau lengsernya penguasa tertinggi Orde Baru memang
tidak mengubah watak kekuasaan aparat di bawahnya yang terus memegang kekuasaan
hingga hari ini. Yakni kendaraan politik Orde Baru sampai hari ini masih tetap
eksis dan terus berusaha mengembalikan jaman keemasan masa lalu. Di sisi lain
rakyat yang merasa tertekan selama puluhan tahun merasakan udara bebas bersuara
lain dan berbuat lain. Bahkan bisa memilih sendiri pemimpinnya mulai dari lurah
hingga presiden, walaupun dalam sistem pemilihan umum tersebut belumlah
sempurna.
Untuk menjaga kelestarian dan persatuan negeri jajahan seberang lautan
Hindia-Belanda, salah satu yang dipelajari oleh pemerintah Hindia Belanda untuk
membikin Pribumi tetap dapat diatur dan dikuasai kehidupannya ialah bagaimana
mengendalikan "amuk" sendiri-sendiri dan "amuk massa". Para
sarjana Belanda mengambil kesimpulan bahwa energi berlebih yang dapat muncul
tatkala sedang amuk atau kesurupan adalah sisa-sisa kekuatan primitif dari
kegelapan. Untuk itulah dalam membentuk pasukan militer pribumi dipilihlah
orang-orang yang kalem untuk menghadapi pribumi lain yang punya kekuatan amuk.
Dan sukseslah Belanda dengan cara demikian. Karena orang-orang kalem dari
daerah tertentu di Jawa itu dapat tetap tenang menghadapi musuh yang begitu
ganas. Sehingga mereka menguasai keadaan dan posisinya dengan baik.
Amuk massa yang tercetus menjadi pemberontakan rakyat Aceh Merdeka, Papua
Merdeka, dan lainnya yang ditambahi dengan terorisme dan perkelahian umat
beragama "dapat diduga, bisa tidak bisa, langsung maupun tidak langsung"
adalah akibat dari sistem Orde Baru yang otoriter dan kejam terhadap lawan
politiknya, maupun siapa saja yang bersuara lain dari simfoni yang digelar Orde
Baru. Buah perbuatan mereka yang buruk cara menanamnya kini mengalami panen
besar. Segala keributan pun muncul tanpa dapat diselesaikan dengan cara apapun.
Dan semakin meriah ditingkahi dengan bencana alam maupun bencana akibat ulah
segelintir orang. Dan ujung-ujungnya akan mengancam Bhinneka Tunggal Ika yang
itu juga.
Ramalan Joyoboyo mengenai kehancuran persatuan dan kesatuan keluarga, sahabat,
yang akan berimbas pada negara Nusantara telah ditulis dalam bait sebagai
berikut pada abad kesebelas masehi.
Akeh
bapa lali anak
Akeh
anak wani nglawan ibu
Nantang
bapa
Sedulur
padha cidra
Kulawarga
padha curiga
Kanca
dadi mungsuh
Akeh
manungsa lali asale
Para bapak menelantarkan anak,
anak-anak berani melawan ibunya sendiri dan juga berani menantang sang bapaknya
sendiri. Sanak-saudara saling bermusuhan, sesama anggota masyarakat satu sama
lain saling curiga mencurigai. Kawan menjadi musuh dalam selimut. Manusia sudah
banyak yang melupakan asal-usulnya masing-masing.
****
0 komentar: (+add yours?)
Posting Komentar