Semasa Orde Lama yang efektif
berjalan sejak Pemilu pertama 1955, pemenang yang tampil empat partai besar:
PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Maka semakin memuncak era demokrasi liberal sejak
1945 membawa Republik Indonesia ke arah persaingan kekuasaan dan kekuatan partai
politik. Dimulai dari Maklumat X Hatta, "Silakan bentuk partai - partai
politik", merupakan awal dari sistem liberal/parlementer. Dan diakhiri
oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit 5 Juli 1959, sejak itu era demokrasi
terpimpin konsep Angkatan Darat mulai berlaku dan berakhir pada 1998. PKI
partai tersingkir dari panggung sejarah terjadi pada 1965. Maka kekuatan peta
politik yang tersisa menurut Clifford Gertz (Religion of Java, 1960) dan
Frans Husken (Sebuah desa di Jawa), Golongan Santri dan Abangan, di
samping minoritas lainnya.
Seorang
nujum yang hidup pada abad kesebelas Prabu Sri Aji Joyoboyo sudah menulis syair
yang menggambarkan era demokrasi liberal atau parlementer ini berikut segala
macam latar belakang panggung kekuasaan politik, padahal semasa beliau hidup di
masa sistem kekeluargaan dan gotong-royong masih sangat kuat, sebagai
berikut:
Korupsi dapat dilakukan sambil duduk di belakang meja, memanfaatkan jabatan dengan jadi calo di dalam departemen sendiri. Para pengusaha yang memanfaatkan jasa calo elite ini berani menantang pemerintah yang syah dengan memutarbalikkan fakta bahwa calo suruhannya menjadi kambing hitam untuk melawan negara. Para pengemplang upeti negara ini kompak satu sama lain dan ditingkahi para koruptor lain yang solider dengan sesamanya. Kekuatan para koruptor itu bahkan setingkat mafioso dari Italia merambah gedung dewan rakyat yang terhormat. Di sana siapa saja yang suaranya paling lantang dan keras dia akan mendapat pengaruh dan menentukan arah pengambilan keputusan.
Korupsi dapat dilakukan sambil duduk di belakang meja, memanfaatkan jabatan dengan jadi calo di dalam departemen sendiri. Para pengusaha yang memanfaatkan jasa calo elite ini berani menantang pemerintah yang syah dengan memutarbalikkan fakta bahwa calo suruhannya menjadi kambing hitam untuk melawan negara. Para pengemplang upeti negara ini kompak satu sama lain dan ditingkahi para koruptor lain yang solider dengan sesamanya. Kekuatan para koruptor itu bahkan setingkat mafioso dari Italia merambah gedung dewan rakyat yang terhormat. Di sana siapa saja yang suaranya paling lantang dan keras dia akan mendapat pengaruh dan menentukan arah pengambilan keputusan.
Maling lungguh wetenge mblenduk.
Maling wani nantang sing duwe omah.
Begal pada ndhugal.
Rampok padha keplok - keplok.
Akeh wong dakwa dinakwa.
Sing suwarane seru oleh pengaruh.
Maling wani nantang sing duwe omah.
Begal pada ndhugal.
Rampok padha keplok - keplok.
Akeh wong dakwa dinakwa.
Sing suwarane seru oleh pengaruh.
Santri vs Abangan minus komunis di
tahun 2011 ini tentu tidak akan berlanjut atau menghasilkan demokrasi terpimpin
versi baru, baik versi Soekarno maupun versi Angkatan Darat. Juga tidak mungkin
menghasilkan sistem gotong-royong yang merupakan produk asli bangsa Nusantara.
Yang bakal terjadi ialah menurunnya kinerja pemerintahan karena banyaknya
gangguan-gangguan dari partai oposisi. Pemerintahan yang kuat tentu tidak
disukai oleh negeri adidaya maupun para negara tetangga yang suka mencuri
pulau, maupun yang suka mencuri SDM. Dan kepentingan negara adidaya dan negara
tetangga sebenarnya seiring dan sejalan dengan para koruptor yakni tetap
berputarnya modal mereka di sini, kalau bisa tanpa membayar pajak sesen pun
kepada negara.
*****
0 komentar: (+add yours?)
Posting Komentar