Nama Donny Dhirgantoro udeh kagak asing lagi ditelinga guweh, berawal dari karya perdananya, novel 5 cm, yang telah dicetak berulang kali dan
saat ini dalam proses untuk di filmkan dan tayang 12.12.12. Saat membaca deskripsi novel
ini, sebenarnya guweh ragu buat beli, maklum dengan 418 halaman bagi guweh cukup tebal dan lama buat kelarin proses bacanya, Tapi sepotong sinopsis di situs buku online itu, membangkitkan
rasa penasaran guweh.
“Ini bulutangkis, dan ini Indonesia, dimana
impian dibawa kedunia nyata……. Dan, perempuan Indonesia dengan segala
keterbatasannya itu memutuskan untuk melawan, memutuskan untuk terus
berjuang demi impiannya, memutuskan untuk terus mencintai hidup yang
tidak pernah sempurna”.
Kata mimpi dan perjuangan adalah kata - kata yang
sangat guweh suka, selalu akrab dengan keseharian guweh. Dan setelah baca
novel tebel dengan sampul merah menantang ini, guweh beranikan diri
menulis resensi pertama guweh tentang buku keren ini.
Kisah bermula dari sebuah rumah sakit dengan seorang lelaki yang
menunggui istrinya yang akan melahirkan anak keduanya. Tulisan mengalir
ringan dengan kata-kata yang kadang mengundang senyum, walau ada
kejadian yang sedikit dipaksakan atau meminjam istilah Donny sendiri – berlebihan.
Secara runtut, novel ini mengisahkan bagaimana
keluarga kecil yang terdiri dari papa, mama, Gita dan Gusni, sangat
mencintai dunia bulutangkis. Gita merupakan atlit perempuan andalan
Indonesia, sosok pekerja keras dan pantang menyerah dalam setiap
pertandingannya. Sementara itu Gusni adalah seseorang yang bertubuh
tambun tapi gesit dan lincah. Terlahir dengan bobot 7.5kg dan selalu
membawa raket nyamuk listrik karena kecintaan nyamuk untuk menyedot
darahnya. Keduanya dibesarkan dan dididik dengan penuh kasih saying oleh
papa dan mama.
Gusni yang menjadi tokoh sentral novel ini pada
usianya yang ke-18 tahun harus menghadapi kenyataan pahit yang selama
ini disimpan rapat keluarganya. Papa mengungkapkan rahasia penyakit
Gusni. Alur cerita yang penuh keceriaan dan kejenakaan yang acap buat guweh geli berubah jadi cerita tentang cinta, mimpi dan perjuangan
meraih mimpi. Disini Donny berhasil buat guweh berkali - kali mengusap
mata haru (cemen) dengan perjuangan Gusni untuk bertahan hidup melalui
bulutangkis. Walaupun tubuh tambun berbobot 125 kg ini sering diejek dan
terlihat aneh dilapangan bulutangkis.
Tapi Gusni adalah seorang pejuang yang menggali
kelebihan dari kekurangannya tidak ingin menyerah jika waktunya diatas
dunia habis. Ia ingin dipanggil dalam kondisi sebagai seorang pejuang
dan bukan pecundang. Begitupun ketika keluarganya hampir menyerah, Gusni
membangkitkan kembali harapan yang ada karena hidup adalah perjuangan
dan ia ingin kedua orangtuanya menjadi saksi perjuangannya di atas dunia
ini.
Sang pelatih, legenda badminton tanah air, selalu menyemangati Gusni dengan sebait kata, “jangan pernah meremehkan kekuatan seorang manusia, karena Tuhan sedikitpun tidak pernah”.
Kata-kata yang bukan saja jadi pelecut semangat Gusni namun juga
keluarganya. Sang pelatih pulalah yang percaya akan potensi yang
dimiliki Gusni dan membawanya bersama pemain junior lainnya untuk
berlaga membela tanah air di kejuaran beregu bulutangkis wanita,
Khatulistiwa Terbuka, dan juga menjadi klimaks dari novel ini.
Disini, banyak kata-kata pembakar semangat dan
membuncahkan rasa nasionalisme mengalir . Bercerita tentang mimpi dan
kerja keras, memberikan batasan antara mimpi dan realitas, dan
memberikan definisi bagi kata pembual dan pejuang, seperti kata pak
pelatih, “..Dan mimpi saja tidak akan pernah cukup….dan
sebuah impian memang seharusnya tidak perlu terlalu banyak
dibicarakan,….tetapi diperjuangkan”.
Dan sampailah pada bagian akhir novel ini. gak pernah guweh sangka akan terhanyut dengan suasana pertandingan yang
digambarkan. Teriakan penonton, “IN..DO..NE..SIA” yang cetar membahana didalam
stadion, kostum merah dan putih, kibaran sang dwiwarna dan teriakan
penyemangat lainnya seperti yang biasa kita saksik`n dalam
pertandingan - pertandingan bulutangkis di Indonesia, tersaji dalam
untaian kata. Wajar saja antusiasme ini jadi musuh kedua dalam setiap
pertandingan olah raga internasional di negeri ini, karena setiap
pertandingan itu bukan milik pribadi atau segelintir orang saja tapi
milik segenap masyarakat Indonesia. Novel ini berhasil menjawab
antusiasme dan euphoria yang selalu muncul jika ada perhelatan olahraga
internasional ditanah air tercinta ini.
Klimaks novel ini menghadirkan pertandingan antara
Indonesia versus Malaysia. Entahlah, guweh gak tahu apa karna
berbagai permasalahan yang ada dengan negeri jiran ini sehingga tak
jarang membuat dada ini terasa sesak saat membaca kalimat demi kalimat
yang menggugah rasa kebangsaan. Namun, apapun alasannya novel ini secara
lugas menyentil rasa nasionalisme atas negeri ini ditengah segala
permasalahannya, dengan segala ketidaksempurnaannya. Ah, mungkin juga
karena nuansa sekitar guweh jelang hari kemerdekaan RI ke 67 ini (berasa 2013) yang guweh acap tercekat haru.
Banyak sekali kata - kata inspiratif di novel ini
yang beneran bisa buat kita merenung dan menyadari hakekat hidup, baik sebagai
individu, keluarga ataupun bangsa. Ya, hidup adalah perjuangan. Novel ini
mengajak pembaca untuk tidak pernah berputus asa dengan segala
ketidaksempurnaan yang ada disekitar kita. Ketidaksempurnaan yang harus
disyukuri dan dicintai agar manusia terus berani berjuang meraih mimpi.
Memutuskan untuk berani mencintai, dan mencintai dengan berani, demi
diri pribadi, keluarga, bangsa dan negara tercinta.
0 komentar: (+add yours?)
Posting Komentar